DIORAMA SEBAGAI

REPRESENTASI INGATAN KOLEKTIF

Prof. Dr. Suhartono*

 

Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam diorama arsip Yogyakarta dapat menggugah ingatan kolektif masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) khususnya, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini dilakukan dengan menelusuri peristiwa sejarah di Yogyakarta sejak kerajaan Mataram di masa pemerintahan Panembahan Senopati sampai dengan saat ini di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ingatan masyarakat pun tidak akan tergugah dan terbangun tanpa menyimak serpihan peristiwa-peristiwa sejarah DIY secara cermat dan teliti. Jejak-jejak sejarah itu dikumpulkan dari dokumen resmi dan pribadi, khususnya melalui arsip serta ingatan kolektif yang disampaikan secara lisan oleh masyarakat Yogyakarta.

Diorama ini menyuguhkan peristiwa lokal dalam lingkup DIY, atau boleh disebut menampilkan sejarah lokal (local history), yaitu sejarah tempat tertentu yang terbatas di wilayah DIY. Peristiwa lokal mampu mengangkat kembali para tokoh, pemimpin dan figur lokal yang memberi kontribusi terbangunnya DIY sejak pemerintahan kerajaan sampai dengan pemerintahan Republik. Peran para pemimpin itu menimbulkan kebanggaan dan menjadi model untuk ditiru dan dikembangkan oleh masyarakat dan generasi penerus. Masyarakat Yogyakarta selalu mendambakan generasi pendahulu yang memberikan contoh dan keteladanan dalam berperilaku. Pada dasarnya masyarakat Yogyakarta sangat kuat untuk memadukan unsur-unsur budaya besar atau budaya istana dan budaya kecil atau budaya populis. Hal ini merupakan kekuatan yang melestarikan dan melanggengkan masyarakat Yogyakarta agar tetap bersatu-padu, gotong-royong dan harmonis berkat keteladanan serta arahan para pemimpinnya.

Diorama dipilih sebagai model penyampaian ingatan kolektif tentang peristiwa sejarah DIY. Sejarah menghidupkan ingatan masyarakat. Proses itu bukan hanya tertuju ke arah masyarakat tertentu, tetapi kepada masyarakat umum alias untuk publik. Dengan kata lain, diorama ini merupakan sejarah publik (public history). Peristiwa sejarah disampaikan kepada publik.Sejarah DIY itu milik publik Yogyakarta dan perlu diinformasikan agar tersebar ke seluruh masyarakat.

Semua itu menjadi benang merah yang dapat dipetik dari diorama yang memuat sejarah lokal DIY  ini. Diorama ini sekaligus menjadi pengingat bahwa peristiwa yang terjadi di Yogyakarta bersifat menyejarah, menjadi kebanggaan dan suri teladan masyarakat. Sudah barang tentu para pemimpin lokal itu terus mentransformasikan nilai luhur, terpuji, dan positif bagi masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Keteladanan para tokoh dan pemimpin itu ternyata tampak guratan alurnya dari dahulu hingga kini Benang merah penyambung zaman itu tidak lain ialah  heroisme atau kepahlawanan. Dengan kepahlawanan kepentingan pribadi dapat disingkirkan dan kepentingan bersama dapat diutamakan. Pada masa awal kerajaan Mataram etos keadilan, kejujuran, kebenaran dan xenophobia alias anti kekuasaan asing sangat menonjol. Selain itu Yogyakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia dan perjuangannya pada masa Revolusi Fisik memberikan inspirasi kepada seluruh bangsa untuk terus berjuang dan menjaga persatuan Republik Indonesia. Etos ini menjiwai perjuangan masyarakat Yogyakarta yang tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia.

  Keteladanan dan kepahlawanan itu adalah tiang nasionalisme lokal (local nationalism) yang dibingkai oleh nilai luhur, yang nantinya berkembang menjadi nasionalisme penuh sebagai nasionalisme Indonesia. Gagasan nasionalisme lokal berkembang subur di Yogyakarta dan meliputi ide baru dalam pergerakan nasional, pendidikan, sosial keagamaan, maupun gerakan buruh.

Apa yang disebut westernisasi atau pengembangan unsur-unsur budaya Barat, yang bersifat multidimensional, khususnya dari Belanda, mendapat respons kuat dari para elite lokal Yogyakarta. Westernisasi ini berdampak luas pada perubahan sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta. Sistem sosial-politik kolonial ditanggapi dengan penyelarasan oleh masyarakat lokal demi kehidupan dan kelangsungan masyarakat. Dalam proses itu terjadi monetisasi, asosiasi politik, individualisasi sosial , dan agen modernisasi. Lahirnya elite lokal baru sebagai dampak pendidikan juga memberi warna baru bagi perkembangan Yogyakarta.

Kawasan di antara Sungai Progo dan Opak merupakan daerah subur yang oleh pemerintah kolonial dipilih sebagai daerah usaha perkebunan. Keuntungan usaha itu digunakan untuk mengakselerasi moda lain seperti transportasi kereta api Semarang-Yogyakarta dengan semua cabangnya. Demikian pula budaya Yogya mempunyai gaya dan warna tersendiri untuk membuat imbangan  terhadap pemerintah kolonial.

Berkembangnya elite baru membuat Yogyakarta makin kokoh dengan sebutan pusat pendidikan dan budaya. Bukan hanya pendidikan kolonial, tetapi pendidikan tradisional swasta  dan pesantren telah mengangkat posisi masyarakat lokal bergerak lebih bebas dalam masyarakat kolonial. Sastrawan Motinggo Busje menyebutnya “Yogya kota pungut”. Artinya, para pemimpin bangsa itu dipungut dari Yogyakarta. Ada banyak pemimpin Indonesia yang pernah mendapat pengalaman yang unik selama tinggal dan belajar di Yogyakarta.

Yogyakarta juga memberi kontribusi nyata dalam relasi politik nasional maupun internasional. “Jiwa dan semangat Jogja” ditunjukkan dalam berbagai peristiwa sejarah anti kuasa asing, seperti Serangan Umum 1 Maret (1949) menghadapi Agresi Militer Belanda II, Tritura (1963) untuk pembebasan Irian Barat, dan Pisowanan Ageng (1998). Sedangkan dalam masalah sosial, Yogyakarta merehabilitasi kehidupan masyarakat yang porak-poranda dilanda gempa bumi pada tahun 2006. Selain itu dalam perkembangan keadaan terkini Yogyakarta memberikan kontribusi yang signifikan dalam penanganan penyebaran virus Covid-19 dan varian terbarunya, Omicron.

Jadi dapat disimpulkan bahwa diorama arsip Yogyakarta menggambarkan semua aktivitas dan kegiatan masyarakat dan pemerintahan Yogyakarta sejak zaman kerajaan Mataram hingga masa pandemi Omicron. Masyarakat Yogyakarta tetap kuat dengan ingatan peristiwa masa lalunya sehingga mampu memberikan sumbangan perubahan sosial-politik. Perubahan-perubahan itu selalu diingat sebagai peristiwa sejarah dan prestasi lokal yang harus dikembangkan untuk kesejahteraan generasi mendatang. Nilai luhur masyarakat tetap dijunjung tinggi demi kelangsungan masyarakat. Diorama ini menjadi ingatan kolektif untuk menapak ke masa depan. Semua peristiwa sejarah itu disampaikan secara keseluruhan, dari berbagai dimensi, dan sudut pandang sehingga terbangun sejarah total (total history).

Viva Yogyakarta!

 

*Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



© All Right Reserved.
  • Privacy Policy
  • Term Of Use